Lokasi Wisata Cirebon

Keraton Kasepuhan


Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Putri itu cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun sebagai pengayom yang menyayangi rakyatnya.
Sebagai keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya. Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah Baluarti kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Lazimnya sebuah keraton di Pulau Jawa, keraton ini terletak di selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di barat alun-alun.
Sementara itu, penjara di utara alun-alun dan pasar di timur alun-alun sudah tidak ada lagi. Alun-alun sendiri yang seharusnya menjadi potensi sebagai ruang publik bagi masyarakat cirebon, kurang berfungsi optimal selain sebagai tempat untuk pelaksanaan tradisi di hari-hari tertentu, dan acara-acara tertentu. Selebihnya alun-alun di Keraton Kasepuhan hanya menjadi lapang kosong yang minim aktivitas didalamnya. Beberapa penjual Nasi Lengko bisa kita temui di depan Masjid Agung, namun disisi lain kondisi alun-alun relatif sepi.  
Pada masa awal didirikannya Keraton Kasepuhan ini,  bagian yang pertama kali dibangun adalah bangunan Keraton Pakungwati I (Jika kita ke Keraton Kasepuhan, bangunan ini terletak di bagian timur komplek Keraton).  Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai.  Bangunan ini terdapat disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II yang dibangun pada masa selanjutnya (bangunan Keraton yang lebih baru yang akan kita temui saat masuk melalui Siti Inggil).  Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, banyak juga falsafah hidup masyarakat cirebon dulu yang dapat dipelajari di dalam keraton ini. Saat saya berkunjung kesana, saya dan kawan saya terpesona dengan setiap maksud atau filosofi yang dijelaskan oleh pemandu akan setiap bagian bangunan atau koleksi dari keraton. Misalkan:  selasar menuju Bangsal Prabayaksa (singgasana sultan) yang dibuat tidak tegak lurus terhadap bagian teras depan bangunan keraton. Hal ini ternyata dimaksudkan agar apabila ada musuh menyerang, meraka tidak dapat langsung melihat dan menyerang menuju singgasana, namun dibuat membelok dan dapat lebih mudah diatasi. 
Atau kerikil-kerikil yang tersebar merata ditanah disepanjang pinggir pagar yang ditujukan untuk mengantisipasi penyusup yang masuk, sebab suara kerikil akan langsung terdengar begitu ada yang menginjak dan berjalan diatasnya.
Sebuah filosofi akan kearifan dan kebijaksanaan sultan salah satunya diceritakan oleh pemandu saat menjelaskan mengenai sebuah tandu bebrbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. “Setinggi-tingginya seorang pemimpin terbang dan berada di langit kepemimpinannya, ia tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang berada dibawahnya”.  Dan masih banyak lagi penjelasan yang indah akan kebijaksanaan dan kearifan yang semestinya dimiliki seorang Sultan pada setiap bagian keraton. 
Perca lain dari sejarah yang tersisa adalah bangunan Lawang Sanga di bagian selatan Kerat0n, tepat di sisi Sungai Krayan. Bangunan ini merupakan bangunan kepabeanan pada masa Kesultanan Cirebon dulu, sebagai tempat bea dan cukai kesultanan cirebon dahulu kala, pada masa itu bangunan ini menjadi bangunan terpenting bagi perekonomian Kesultanan Cirebon, dimana setiap barang yang masuk dari luar kerajaan dibawa oleh perahu yang berlayar dari arah laut jawa untuk kemudiang menyusuri kali Krayan, dan memasuki Bangunan Lawang Sanga ini (saya jadi terbayang hebatnya perekonomian Cirebon pada masa itu, dengan perahu-perahu yang menyusuri kali membawa barang dagangan dari daerah-daerah lain, termasuk Arab dan Cina.



Keraton Kanoman


Pada komplek Keraton Kanoman inilah pertama kali dibangun sebuah bangunan kerajaan sebelum pindah ke Pakungwati 1 di lokasi Keraton Kasepuhan, bangunan tersebut merupakan bangunan tertua di Cirebon. Komplek Keraton ini terpencil keberadaannya di tengah Kota Cirebon, tertutup oleh bangunan Pasar Kanoman di bagian utara, ruko-ruko di sepanjang jalan Lemahwungkuk yang terleta di sebalah timur Keraton Kanoman, dan bangunan perumahan permukiman di sebelah selatan dan baratnya. Bangunan Keraton nyaris tenggelam diantara bangunan-bangunan yang mengelilinginya. Padahal sebagai potensi sebuah kota, keraton ini sebaiknya mudah dijangkau oleh setiap warga kota dan wisatawan.
Seperti di Keraton Kasepuhan, alun-alun keraton yang seharusnya menjadi ruang publik yang terbuka sebagai tempat aktivitas warga saat ini kurang berfungsi secara optimal sebagai ruang publik. Alun-alun ini lebih terlihat sebagai ruang perluasan Pasar Kanoman,  dibandingkan sebagai ruang depan Keraton Kanoman, kondisi yang harus segera diperbaiki dan dikembangkan fungsinya. Namun demikian pada acara-acara tradisi tertentu lapangan ini akan berubah menjadi lautan orang yang membludak ingin mengikuti tradisi seperti Muludan dan acara-acara tradisi lainnya. 
Komplek Keraton Kanoman sendiri memiliki ruang yang cukup menarik sebagai tempat wisata, dengan pohon-pohon beringin yang rimbun serta taman-taman keraton yang dikelilingi benteng bata menjadi sebuah oase yang sejuk di tengah Kota Cirebon yang cukup panas. Apalagi sambil menikmati tahu gejrot yang pedas dan segar. Maknyuss.  Dan lebih daripada itu, (lagi) bagian sejarah yang menyambung dari sejarah Kesultanan Kasepuhan bisa diketahui dari Keraton ini. 


 Makam Sunan Gunung Djati

Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai pada jamannya juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton Pakungwati.
Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.
Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).
Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.
Ada 9 pintu yang terdapat dalam Makam Sunan Gunung Jati, yaitu 1)Pintu Gapura, 2)Pintu Krapyak, 3)Pintu Pasujudan, 4)Pintu Ratnakomala, 5)Pintu Jinem, 6)Pintu Rararoga, 7)Pintu Kaca, 8)Pintu Bacem dan 9)Pintu Teratai. Para pengunjung atau peziarah hanya diperkenankan masuk sampai di pintu ke-5 saja.
Para peziarah di Makam Sunan Gunung Jati hanya diperkenankan sampai dibatas pintu serambi muka yang pada waktu-waktu tertentu dibuka dan dijaga selama beberapa menit kalau-kalau ada yang ingin menerobos masuk. Dari pintu yang diberi nama Selamat Tangkep itu terlihat puluhan anak tangga menuju Makam Sunan Gunung Jati.
Para peziarah umum diharuskan masuk melalui gapura sebelah Timur dan langsung masuk pintu serambi muka untuk berpamit kepada salah seorang Juru Kunci yang bertugas. Setelah diijinkan maka peziarah umum dapat menuju ke pintu barat yaitu ruang depan Pintu Pasujudan.
Uniknya didalam kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat kompleks makam warga Tionghoa dibagian barat serambi muka yang dibatasi oleh pintu yang bernama Pintu Mergu. Lokasinya disendirikan dengan alasan agar peziarah yang memiliki ritual ziarah tersendiri seperti warga Tionghoa tidak akan terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam.
Makam Sunan Gunung Jati dibersihkan tiga kali seminggu dan selalu diperbaharui dengan rangkaian bunga segar oleh Juru Kunci yang bertugas. Penggantian bunga dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Jumat. Pada hari Senin dan Kamis petugas akan masuk dari pintu yang disebut dapur Pesambangan, sedangkan pada hari Jumat petugas akan masuk dari pintu tempat masuknya peziarah disiang hari.
Jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati seluruhnya ada 108 orang yang terbagi dalam 9 kelompok masing-masing 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (merupakan tambahan setelah Kraton Cirebon dipecah menjadi Kraton Kasepuhan dan Kanoman). Mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Pada saat mereka diberi amanat mengemban tugas itupun ada serangkaian upacara atau selametan yang harus dilakukan oleh masing-masing orang. Seluruh petugas makam termasuk para Bekel dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan.
Adapun riwayat dibalik jumlah 108 berawal dari Pemerintahan Sunan Gunung Djati di Kraton Pakungwati yang pada suatu hari menangkap perahu yang terdampar dengan seluruh penumpang berjumlah 108 orang seluruhnya berasal dari Keling (Kalingga) dan berada dibawah pimpinan Adipati Keling. Orang-orang Keling ini kemudian menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menetap dan menjaga daerah sekitar pemakaman sampai ke anak cucu. Sebagian masyarakat yang bermukim disekitar kompleks makam adalah keturunan orang-orang Keling tersebut. Oleh karena itu ke-12 orang yang bertugas tersebut mengemban tugas sesuai dengan jenjangnya sebagai awak perahu nelayan seperti juru mudi, pejangkaran dan lain sebagainya.
Selain Sultan dan Juru Kunci yang ditunjuk maka tidak ada lagi orang yang diperkenankan masuk ke makam Sunan Gunung Djati. Konon di sekitar makam Sunan Gunung Djati terdapat pasir Malela yang dibawa langsung dari Mekkah oleh Pangeran Cakrabuana. Pasir ini tidak diperbolehkan dibawa keluar dari kompleks pemakaman. Para Juru Kunci sendiri diharuskan membersihkan kaki-nya sebelum dan sesudah dari makam agar tidak ada pasir yang terbawa keluar. Pelarangan ini sesuai dengan amanat dari Pangeran Cakrabuana sendiri, mungkin karena pada jaman dahulu upaya untuk membawa Pasir Malela dari Mekkah ke kompleks pemakaman teramat berat dan sulit.
Tak jauh dari bangunan makam terdapat masjid yang diberi nama Masjid Sang Saka Ratu atau Dok Jumeneng yang konon dulunya digunakan oleh orang-orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Djati. Didalam masjid kita bisa melihat Al-Quran yang berusia ratusan tahun dan dibuat dengan tulisan tangan (bukan cetakan mesin).
Ada beberapa sumur disekitar bangunan masjid, yaitu Sumur Kemulyaan, Sumur Djati, Sumur Kanoman dan Sumur Kasepuhan. Masjid ini sendiri memiliki 12 orang Kaum yang pengangkatannya melalui prosedur Kesultanan dengan segala tata cara dan tradisi lama yang masih dijalankan. Ke-12 orang tersebut terdiri dari 5 orang Pemelihara, 4 orang Muadzin, 3 orang Khotib ditambah dengan seorang penghulu atau Imam. Kecuali penghulu mereka bertugas secara bergilir setiap minggu dengan formasi 1 orang pemelihara, 1 orang Muadzin dan 1 orang Khotib.
Ada lagi legenda para wali yang berhubungan dengan Sumur Jalatunda yang berasal dari jala yang ditinggalkan Sunan Kalijaga saat dirinya diperintahkan mencari sumber mata air untuk berwudhu-nya para wali yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan. Sumur Jalatunda ini dikenal dengan Zam-zam-nya Cirebon.
Mengunjungi kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati sebetulnya tidak terlalu sulit. Lokasi-nya tidak jauh dari kota Cirebon. Jalan masuknya juga bisa dilalui oleh mobil dan sudah tersedia lahan parkir yang cukup luas.
Yang sangat disayangkan adalah banyaknya penduduk setempat yang meminta donasi tidak resmi kepada pengunjung atau peziarah yang datang ke makam. Dari mereka yang meminta dengan suka rela sampai dengan mereka yang menggebrak meja tempat diletakkannya kotak donasi untuk menakut-nakuti pengunjung apabila mereka menolak untuk membayar. Yang meminta donasi tidak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak balita sampai kaum tua renta juga setia mengikuti bahkan ada yang sambil menarik-narik baju pengunjung. Macam-macam alasan yang digunakan, dari donasi untuk pemeliharaan makam sampai sumbangan sebagai ‘pembuka pintu’. Kalau anda datang bersama dengan rombongan peziarah, bersiaplah menghadapi  puluhan peminta sumbangan yang sudah berbaris panjang dari parkiran anda masuk sampai ke pintu gerbang peziarah.
Sangat mengesalkan sebetulnya. Pemandu memberitahu agar kami ‘jangan memulai’ memberikan donasi setiap kali diminta karena hanya akan membuat peminta donasi lain akan memburu. Walaupun kami sudah berusaha membatasi jumlah donasi yang kami keluarkan dengan terus menerus mengatakan “tidak” tetap saja kami harus merogoh kantong beberapa kali.
Upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali.
Alangkah baiknya apabila pihak Kraton yang berwenang atau pemerintah daerah mulai memikirkan cara untuk menertibkan mereka karena bisa jadi akan merusak citra tempat pemakaman Sunan Gunung Jati ini dan umat muslim pada umumnya. Aktivitas meminta-minta dengan paksa yang dilakukan kaum dewasa dan orang tua akan memberikan contoh tidak baik bagi anak kecil warga sekitar. Tak heran apabila mereka nantinya juga menjadi peminta-minta. Walaupun Sunan Gunung Jati pernah bertutur “Ingsun titip tajug lan fakir-miskin” yang artinya “Aku titipkan masjid/musholla dan fakir miskin” tetapi saya yakin bukan seperti inilah perwujudannya.



Gua Sunyaragi


Sunyaragi adalah nama suatu Cagar Budaya Indonesia yang unik. Sunyaragi berlokasi di kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon dimana terdapat bangunan mirip candi yang disebut Gua Sunyaragi, atau Taman Air Sunyaragi, atau sering disebut sebgaai Tamansari Sunyaragi. Nama "Sunyaragi" berasal dari kata "sunya" yang artinya adalah sepi dan "ragi" yang berarti raga, keduanya adalah bahasa Sansekerta. Tujuan utama didirikannya gua tersebut adalah sebagai tempat beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya.
Gua Sunyaragi merupakan salah satu benda cagar budaya yang berada di Kota Cirebon dengan luas sekitar 15 hektar. Objek cagar budaya ini berada di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, Cirebon. Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Karena itu Gua Sunyaragi disebut taman air gua Sunyaragi. Pada zaman dahulu kompleks gua tersebut dikelilingi oleh danau yaitu Danau Jati. Lokasi dimana dulu terdapat Danau Jati saat ini sudah mengering dan dilalui jalan by pass Brigjen Dharsono, sungai Situngkul, lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas, Sunyaragi milik PLN, persawahan dan menjadi pemukiman penduduk. Selain itu di gua tersebut banyak terdapat air terjun buatan sebagai penghias, dan hiasan taman seperti Gajah, patung wanita Perawan Sunti, dan Patung Garuda. Gua Sunyaragi merupakan salah satu bagian dari keraton Pakungwati sekarang bernama keraton Kasepuhan.
Kompleks tamansari Sunyaragi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu pesanggrahan dan bangunan gua. Bagian pesanggrahan dilengkapi dengan serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah dan dikelilingi oleh taman lengkap dengan kolam. Bangunan gua-gua berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi terowongan penghubung bawah tanah dan saluran air. Bagian luar komplek aku bermotif batu karang dan awan. Pintu gerbang luar berbentuk candi bentar dan pintu dalamnya berbentuk paduraksa.
Induk seluruh gua bernama Gua Peteng (Gua Gelap) yang digunakan untuk bersemadi. Selain itu ada Gua Pande Kemasan yang khusus digunakan untuk bengkel kerja pembuatan senjata sekaligus tempat penyimpanannya. Perbekalan dan makanan prajurit disimpan di Gua Pawon. Gua Pengawal yang berada di bagian bawah untuk tempat berjaga para pengawal. Saat Sultan menerima bawahan untuk bermufakat, digunakan Bangsal Jinem, akan tetapi kala Sultan beristirahat di Mande Beling. Sedang Gua Padang Ati (Hati Terang), khusus tempat bertapa para Sultan.
Walaupun berubah-ubah fungsinya menurut kehendak penguasa pada zamannya, secara garis besar Tamansari Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan. Bagian-bagiannya terdiri dari 12 antara lain:

(1)bangsal jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit berlatih; (2) goa pengawal, tempat berkumpul par apengawal sultan; (3) kompleks Mande Kemasan (sebagain hancur); (4) goa Pandekemasang, tempat membuat senjata tajam; (5) goa Simanyang, tempat pos penjagaan; (6) goa Langse, tempat bersantai; (7) goa peteng, tempat nyepi untuk kekebalan tubuh; (8) goa Arga Jumud, tempat orang penting keraton; (9) goa Padang Ati, tempat bersemedi; (10) goa Kelanggengan, tempat bersemedi agar langgeng jabatan; (11)goa Lawa, tempat khusus kelelawar; (12) goa pawon, dapur penyimpanan makanan.



Batik Trusmi Plered Cirebon


Kawasan Batik Trusmi adalah suatu kawasan budaya di mana proses produksi batik khas Cirebon, Mega Mendung, dapat Anda saksikan. Di sini terdapat lebih dari 1000 tenaga kerja atau pengrajin batik. Tenaga kerja batik tersebut berasal dari beberapa daerah yang ada di sekitar desa Trusmi, seperti dari desa Gamel, Kaliwulu, Wotgali dan Kalitengah.
Yang membanggakan, Batik Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan Batik Pesisir, namun juga sebagian batik Cirebon termasuk dalam kelompok batik keraton. Hal ini dikarenakan Cirebon memiliki dua buah keraton yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, yang konon berdasarkan sejarah dari dua keraton ini muncul beberapa desain batik Cirebonan Klasik yang hingga sekarang masih dikerjakan oleh sebagian masyarakat Desa Trusmi, di antaranya motif Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo dan lain-lain.
Perkembangannya pada masa sekarang ditandai dengan keanekaragaman pewarnaan yang dimiliki oleh batik Cirebonan dengan menggunakan unsur-unsur warna yang lebih terang dan cerah, serta memiliki bentuk ragam hias yang bebas dengan memadukan unsur binatang dan bentuk-bentuk flora yang beraneka rupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar